oleh : Albertus M. Patty*
Korupsi lagi, dan lagi. Di Riau, korupsi di lingkungan birokrasinya bukan lagi berita mengejutkan; ia telah menjadi gema pahit yang berulang, seperti sebuah lagu muram yang diputar tanpa henti. Empat gubernurnya berturut-turut tersandung kasus korupsi. Mulai dari Saleh Djasit, Rusli Zainal, Annas Maamun, dan kini Abdul Wahid yang baru di-OTT. Inilah ironi menyebalkan bagi tanah yang kaya minyak, gas, dan hutan. Mungkin kita merasa gemas teehadap para koruptor ini, tetapi sesungguhnya kita sedang menatap cermin besar. Pada cermin itu yang nampak bukan hanya individu yang jatuh, tetapi juga wajah sistem birokrasi kita yang bobrok.
*Dimana Akar Kebobrokan?*
Plato pernah memperingatkan bahwa kekuasaan hanya pantas dipegang oleh mereka yang telah berlatih pengendalian diri, karena tanpa itu, kekuasaan berubah menjadi candu yang mempercepat kerusakan diri. Realitas politik kita membuktikan: kekuasaan yang tidak dikawal oleh pendidikan etis yang matang, mekanisme pengawasan yang tegas, dan budaya sosial yang benar, akan melahirkan pemimpin yang mengkhianati janji mulianya sendiri.
Benjamin Franklin pernah berkata, “Hampir semua manusia dapat menanggung cobaan; tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, berikan dia kekuasaan.” mungkin orang mampu menahan kesulitan, tetapi roboh ketika diberi kursi empuk, kewenangan anggaran, dan tepuk tangan publik. Kekuasaan bukan hanya menyingkap karakter, ia mengujinya, menggoncangnya, bahkan melucutinya. Di Riau, ujian itu gagal berulang kali. Maka kita patut bertanya: apakah yang gagal adalah manusianya saja, atau sistem yang menelannya?
*Jangan Hanya OTT*
Kita bangga bahwa KPK masih mampu melakukan OTT dan menyeret para pejabat ke meja hijau. Tetapi, itu saja tidak cukup! Hukum yang hanya datang di ujung perbuatan adalah pagar yang terlambat dibangun. Penegakan hukum kita sering digerakkan oleh skandal, bukan pencegahan; oleh kegemparan, bukan rencana jangka panjang. Kita menghukum individu, tetapi tidak memperbaiki struktur yang memungkinkan individu itu jatuh. Sistem birokrasi yang feodal, patronase politik, dan budaya “asal tidak ketahuan” mengakar lebih kuat daripada aturan hukum dan etika publik.
Secara moral, korupsi bukan sekadar mengambil uang negara. Ia adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik, penghinaan dan perampokan terhadap hak rakyat kecil, dan penggiringan bangsa menuju jurang ketidakadilan yang semakin dalam. Ia mencuri bukan hanya uang, tetapi kesempatan, asa, dan martabat masyarakat. Korupsi bukan hanya kejahatan finansial, ia adalah kegagalan spiritual dan kegagalan moral kolektif.
Kasus korupsi para pejabat dan birokrat Riau, dan banyak tempat lainnya di negeri ini, mengajak kita untuk berhenti menyalahkan individu semata. Kita harus menyadari bahwa sistem yang tidak adil, budaya politik yang permisif, dan masyarakat yang mudah memaafkan koruptor adalah tanah subur bagi kebusukan yang terus tumbuh.
*Perkuat Sistem*
Memang, kita membutuhkan pemimpin yang bukan hanya pintar, tetapi berkarakter. Meskipun demikian, dengan mengingat titah Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup, para pemimpin sebagai eksekutor kebijakan publik harus dikontrol dan diawasi. Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan perlu segera membangun institusi yang kuat di kertas dan teguh secara moral yang tercermin dalam sistem pemerintahan yang akuntabel dan transparan. Ini penting, agar tak ada lagi koruptor, dan tak ada lagi OTT.
Sebab pada akhirnya, sebagaimana Franklin mengingatkan kita, kekuasaan adalah cermin. Dan ketika pemimpin-pemimpin Riau jatuh satu demi satu, cermin itu memantulkan lebih daripada wajah mereka, ia memantulkan wajah kita sebagai bangsa: wajah sistem yang masih bobrok yang harus segera dibenahi, budaya yang harus diperbarui, dan moralitas yang harus dipulihkan.
Jika kita ingin memutus kutukan ini, maka perjuangan kita bukan hanya menangkap pelaku, tetapi membangun manusia, menegakkan pengawasan dan hukum tanpa pandang bulu, dan merestorasi hati bangsa untuk kembali mengerti arti amanah dan tanggungjawabnya bagi kebaikan bangsa.
Ketika kekuasaan kembali mengetuk pintu-pintu kehidupan kita, karakter kita tetap tegak berdiri, bukan jatuh tersungkur di hadapannya. Amien!
Jakarta,
5 Nov. 2025
* Pendeta GKI









