Menu

Dark Mode
Ketika Istana Negara Tenggelam Lolos Dramatis, Persekota Dapat Suntikan Semangat dari Serena Francis Perserond Akhiri Perjuangan di ETMC XXXIV dengan Kepala Tegak KIPP Indonesia Tetapkan Dewan Presidium Nasional dan Majelis Nasional Periode 2025-2030 AJI Desak Media Massa Tidak Diskriminatif terhadap Minoritas Gender dan Seksual di Lombok PSK Kabupaten Kupang Tundukkan Perserond Rote Ndao 2–0 di ETMC XXXIV Ende

PEMBACA MENULIS

“Layakkah aku?”

badge-check
oleh Albertus M. Patty*
Sebagai rohaniawan, Martin Luther bergumul berat dengan pertanyaan: “layakkah aku di hadapan Tuhan?’ Setelah memeriksa dirinya dengan jujur, ia tiba pada kesimpulan “aku tidak layak”. Luther sadar dia terlalu kotor dan berlumuran dosa. Oleh karena itu, Martin Luther katakan bahwa yang dia butuhkan agar layak di hadapan Allah adalah sola gratia, hanya oleh anugerah Tuhan.
Luther sadar bahwa di satu sisi kita semua rindu mendengar suara Tuhan yang menerima dan merangkul. Namun di sisi lain, kita justru lebih sering dikuasai sisi gelap diri kita: ego, kompromi kecil dalam integritas, dan ambisi yang kadang membuat kita mempersetankan apa pun, termasuk kehendak Tuhan.
*Belajar dari Zakheus*
Zakheus, si pemungut cukai itu, bukan sekadar orang berdosa secara pribadi, ia adalah orang yang secara sengaja memutus hubungan antara imannya dan profesinya (Lukas 19:1-10). Zakheus menjalankan pekerjaannya tanpa membawa Tuhan ke dalamnya. Dia memeras sesama, memanipulasi, dan melakukan korupsi dengan cara memanfaatkan sistem, jabatan, dan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Ia terjerat mentalitas dunia: bahwa nilai diri ditentukan oleh kekayaan, posisi, dan keberhasilan sosial.
Zakheus adalah cermin bagi mereka yang pintar bekerja, ahli mengatur angka, pandai mengelola relasi; tetapi mungkin diam-diam membiarkan ego menggantikan Tuhan di ruang kerja. Dalam sunyi batin, ia pun mungkin bertanya: “Layakkah aku mendekati Tuhan ketika pekerjaanku sendiri mencerminkan ketidakadilan?”
Tetapi yang mengejutkan adalah cara Yesus mendekati Zakheus yang berdosa. Yesus tidak menunggu Zakheus berubah . Yesus tidak menuntut rekam jejak bersih baru mau menyapa dan bersahabat dengannya. Yesus tidak menunda kasihNya sampai Zakheus membuktikan kesalehannya.
Saat berada di bawah pohon ara, Yesus memanggil nama Zakheus yang masih berada di “atas pohon”, tempat persembunyian sekaligus tempatnya memandang Yesus dari kejauhan. Di ‘atas pohon’ adalah tempat dimana Zakheus, yag merasa tidak layak, memandang Yesus dari kejauhan. Zakheus melihat Yesus dalam pergumulan batinnya antara rasa ingin percaya dan rasa malu akibat dosanya. Yesus menghampirinya. Ia tidak berkata, “Perbaiki hidupmu, baru Aku datang,” melainkan: “Turunlah. Aku mau tinggal di rumahmu hari ini.”
*Kasih dan Anugerah Mendahului*
Kasih dan anugerahNya mendahului tuntutan perubahan. Penerimaan mendahului pertobatan. Identitas sebagai orang yang dikasihi mendahului moralitas dan kesalehan.
Henri Nouwen mengingatkan: banyak orang berdosa dan berbuat curang bukan semata-mata karena mereka jahat, tetapi karena mereka merasa tidak dicintai. Mereka rasakan kesepian, merasa nobody. Lalu, orang berupaya merebut dan meraih kasih dari sesama melalui kekayaan, kuasa, prestasi, dan status sosial. Mereka nikmati kehadiran orang-orang yang mengelilinginya. Mereka merasa penting. Merasa dicinai. Padahal, orang-orang di sekitarnya hadir dengan cinta yang palsu. Sesungguhnya mereka hanya ingin meraih keuntungan dari kekayaan, prestasi dan kuasa yang dimilikinya. Pada saat dia kehilangan itu semua, orang-orang yang mengelilingi pun lenyap. Sebaliknya, orang yang sadar bahwa dirinya dicintai Allah dan dikasihi sesama apa adanya, ia tidak membutuhkan kekuasaan untuk membuktikan keberadaan, atau kekayaan untuk merebut kasih. Dia bisa menjadi dirinya sendiri. Mereka merasa berharga karena ada yang mencintai.
Kasih dan penerimaan Tuhan adalah akar pertobatan. Dan dari kasih itu lahirlah keberanian mengakui salah, memperbaiki kerusakan, bahkan membaharui cara kita bekerja. Itulah yang dialami Zakheus.
Pertanyaan “Layakkah aku?” akhirnya menemukan jawabannya bukan di timbangan moralitas manusia, tetapi dalam tatapan Yesus yang berkata: “Engkau layak karena Aku memilih mengasihimu.” Zakheus pun bahagia. Ia turun dari pohon ara, tempat yang jauh dan tersembunyi, menghampiri Yesus yang menerimanya apa adanya.
Hari ini kita pun dipanggil turun dari pohon kita:
pohon gengsi,
pohon rasa malu,
pohon ketakutan,
pohon ego karier,
pohon kompromi.
Bukan untuk dihukum, tetapi untuk dipulihkan. Bukan untuk dhakimi kesalahannya, tetapi untuk dipanggil dalam kasih. Bukan hanya untuk diselamatkan secara batin, tetapi untuk diubah dalam cara kita menggumuli profesi dan pekerjaan kita, cara memimpin, cara mengelola kuasa, dan cara memperlakukan sesama.
Pada akhirnya, pertanyaan batin itu tidak lagi berbunyi:
“Layakkah aku?”
Melainkan berubah menjadi:
“Bagaimana aku dapat menjalani hidup ini sebagai orang yang telah dikasihi?”
Orang yang tahu dirinya dikasihi Tuhan akan bekerja dengan kejujuran, memimpin dengan kerendahan hati, melayani dengan belas kasih, dan berdiri dengan keberanian profetis, bahkan di hadapan kekuasaan dunia.
Semoga hari ini, saat Yesus menyebut nama kita, kita pun berani menjawab dengan kerendahan hati yang penuh syukur:
“Tuhan, masuklah ke rumahku… dan masuk pula dalam profesi, pekerjaan dan rumah tanggaku.”
Bandung,
3 November 2025
* Pendeta GKI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Ketika Istana Negara Tenggelam

12 December 2025 - 11:15 WITA

Trending Post PEMBACA MENULIS