Oleh: Alex Japalatu
Sejak jumpa di Buddha Bar, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Agustus 2009 itu, kami berteman.
Seminggu setelah itu, saya mencari beliau ke rumahnya. Om Gerson tidak memberi alamat secara tertulis. Ia hanya bilang: “Ambil arah Studio Alam TVRI, turun Gang Haji Miun, masuk sekitar 300 meter, lewati masjid, terus tanya rumah Gerson Poyk. Orang-orang di situ tahu,”ujarnya.
Waktu saya datang, di tikungan setelah masjid, rumah pertama yang saya tanyai menunjuk tepat.
Itulah hari minggu pertama. Disambung hari-hari minggu berikutnya. Ngobrol. Berjam-jam. Merokok. Ngopi…. kadang hingga petang.
Barangkali karena sering mengunjungi beliau, saya seperti mendapat privilese. Mula-mula kami hanya ngobrol di depan. Di teras. Ada bangku panjang di situ. Meskipun kalau duduk harus hati-hati. Salah satu kakinya patah.
Tetapi setelah kunjungan yang entah keberapa, Om Gerson memberi tahu saya, kalau tidak ada orang yang bukakan pintu, saya bisa lewat samping. Ada pintu besi yang tidak dikunci. Ia memperagakan cara membuka. Dengan ditendang. Agak kencang. Kami ngobrol di belakang. Di ruang kerja Om Gerson.
***
Di ruang kerja beliau ada banyak dokumen. Ditumpuk2 saja. Catatan2 tangan. Kertas-kertas ketikan. Dengan coretan sana-sini. Juga koran2 bekas. Kusam. Berdebu. Lembab. Sebab itu sebagian sudah hancur. Sukar dibaca lagi.
Saya ingat, ketika Om cerita tentang kehidupan pribadinya, saya merasa waktunya pas untuk minta ijin memilah-milah tumpukan dokumen itu. Yang masih bisa dibaca saya pisahkan.
“Om, bagaimana kalau yang ini kita terbitkan jadi buku?” tawar saya.
Tumpukan dokumen tersebut saya bawa ke kantor. Waktu itu saya redaktur di Majalah Inspirasi-Indonesia, BPK Gunung Mulia. Di Kwitang. Setelah sebulan diproses, terbitlah buku Keliling Indonesia, Dari Era Bung Karno sampai SBY (2010). Buku catatan perjalanan Om Gerson keliling daerah2 di Indonesia.
Gara-gara buku ini pula saya dianggap kenal dekat Om Gerson dan karyanya. Padahal saya tidak punya intensi mendalami karya-karya beliau. Apalagi membuat penelitian atasnya. Kami hanya berteman. Atau lebih tepatnya, saya berguru kepada beliau.
Sebab itu ketika buku Keliling Indonesia Terbit dan TV One minta Om Gerson diwawancarai dalam acara Selamat Pagi Indonesia (SPI), saya diminta sebagai penanggap. Jadilah, pagi-pagi sekali saya jemput Om Gerson di rumahnya. Kami naik taksi ke dekat Bundaran HI, ke kantor redaksi SPI. Diwawancarai. Live. Kami masuk TV.
Saya ingat, Om Gerson kembali menyuarakan untuk ‘kembali ke desa’. Istilah dia, Indonesia ini adalah ‘bumi subur laut kaya’. Kalau dikelola dengan baik, kita tidak perlu mengekspor TKI yang akhirnya disiksa dan dibunuh. Anak-anak kita tak perlu menderita busung lapar. Tinggal korek-korek tanah, benih dilempar, beberapa bulan kemudian makanan bergizi sudah bisa dipanen. Busung lapar enyah.
Ia juga menyerukan kekesalannya tentang sekelompok orang yang lebih suka menaruh “otak”nya di padang pasir padahal tinggal dan menjadi warga Indonesia.
Demikian pula ketika Radio Sonora minta wawancara. Saya diminta menemani Om Gerson. Habis wawancara, kami makan mie di salah satu kedai mie terkenal. Ketika mie dihidangkan, Om Gerson batal makan. Dia minta makanan lain. Seperti biasa Om Gerson membaui makanannya terlebih dahulu. Jika ia rasa mie digoreng/dicampur dengan minyak bekas, ia tidak makan.
“Saya agak sensitif dengan minyak goreng,” ujarnya.
Waktu jumpa di Buddha Bar pun demikian. Tapi kali itu mie ia makan. Dengan rokok terus menyala di jari. Sesendok. Minum air. Sesendok lagi, lalu GG Merah dihisap. Begitu terus. Sampai habis.
***
Ketika buku itu terbit, Om Gerson sudah berusia 80 tahun.
“Kecuali ‘kanker’, saya tidak punya penyakit lain.” Sering ia bilang sembari tertawa.
“Kanker’ yang dia maksud adalah ‘kantong kering’, alias bokek. Sebab itu untuk bisa beli rokok Om Gerson menulis. Dengan minta honor dibayar di depan.
“Kalau minta sama Fanny, diberi. Tetapi penuh intimidasi, hahaha,” Om Gerson ketawa lagi. Kepada saya kak Fanny Poyk, putrinya, bilang: “Saya larang Bapak merokok. Sudah tua. Pasti ada macam-macam penyakit nanti!”
“Keliling Indonesia” mestinya diberi judul “Mati Ketawa Keliling Indonesia”. Tetapi rupanya judul ini sudah dipakai oleh Tempo dalam sebuah artikelnya tentang Om Gerson. Oleh penerbit Libri, anak dari BPK Gunung Mulia yang menerbitkan buku-buku umum dan humaniora, judul di atas yang dipakai.
Sedikit cerita tentang buku Keliling Indonesia:
Om Gerson memotret Indonesia sejak tahun 1956 hingga 1990-an dalam sebuah buku setebal 308 halaman. Ia memotret Indonesia dari berbagai sudut secara ringan,jenaka dan, kadang-kadang nakal. Laporannya merambah tempat yang paling mewah istana presiden di Jakarta hingga pojok-pojok terjorok dan tergelap di Sumatera dan Kalimantan.
Dua catatannya, “Menyusur Jalan Daendels dan Sekitarnya” serta “Berkelana ke Padang Sabana Timor dan Sumba” diganjar hadiah Adinegoro secara berturut-turut, 1985 dan 1986. Ini hadiah paling tinggi untuk wartawan Indonesia. Dua catatan ini menurut Om Gerson sudah hilang. Atau dia taruh di mana, dan tidak ingat lagi.
Begitu tamat Sekolah Guru Atas (SGA) di Surabaya, Gerson menjadi guru selama dua tahun, 1956—1958 di Ternate. Tetapi entah kenapa dia membelot.
“Anak saya kena busung lapar karena gaji yang terlambat melulu.” Itu alasan dia. Pengalaman mengajar di Ternate dan Bima di NTB melahirkan Novel Sang Guru yang telah klasik dan meraih hadiah Sastra Asia Tenggara Sea Write Award tahun 1989. Dari hadiah sastra ini Gerson membeli tanah yang cukup luas di Depok, Jawa Barat. Ia membangun rumah. Membeli tanah kosong untuk bertani.
Gerson tak pernah merencanakan perjalanan jurnalistiknya. Begitu ada keinginan ia berangkat saja, meski hanya dengan pakaian yang menempel di badan dan tanpa sepeser uang pun di kantong.
Suatu kali Gerson berangkat dari Surabaya ke Sumatera, berganti-ganti truk sayur. Gratis. Setelah berkeliling dari Aceh, Medan, Gunungsitoli, ia hampir dibacok di Muaro Bungo. Gara-garanya sepele, Gerson bercanda kelewatan soal harga segelas kopi yang menurutnya terlalu mahal.
“Sialan betul itu. Padahal saya hanya bercanda saja, ha-ha-ha,” ujar Gerson ketawa.
Kalau ada koran atau majalah di daerah yang ia tuju,Gerson menyambanginya. Nama besarnya sebagai mantan wartawan Sinar Harapan—koran terbesar di Indonesia saat itu—membuatnya dikenal luas. Urusan jadi gampang.
“Saya datang ke redaksi. Pinjam mesin ketik lalu tak..tak..tak…Jadilah sebuah features yang menarik,” ujarnya. Seperti biasa, ia minta honor dibayar di depan.
Saat Sukmawati Soekarno Putri menikah 1970, dunia ingin tahu bagaimana keadaan Bung Karno yang sudah setahun jadi tahanan rumah. Wartawan dalam dan luar negeri penuh di depan rumah Ibu Fatmawati. Semua tidak boleh masuk. Bahkan Guntur menemui kesulitan. Kameranya direbut tentara berpakaian sipil. Gerson mendekat. “Tidak boleh masuk!” bentak tentara.
Otak nakal Gerson bekerja. “Saya lihat ada dua penghulu yang masuk lewat gang belakang. Petugas tidak mengantar, hanya melambai menunjuk gang. Aku pura-pura saja jadi intel yang antar mereka masuk,he-he-he” Gerson menyeringai.
Ia berhasil masuk. Gerson melihat semua yang ada di dalam. Mulai dari ibu-ibu yang mencabuti bulu ayam hingga ranjang pengantin. “Saya lihat Bung Karno sedang naik tangga pintu depan. Dua lututnya gemetar. Dia kelihatan gemuk sekali.”
Sejam kemudian ia “ditelikung” keluar oleh intel beneran. Kawan-kawan wartawannya bersorak-sorai. Beberapa wartawan asing meneriaki Gerson, “I pay you, I pay you.” Maksudnya, mereka mau membayar kalau Gerson mau berbagi cerita.
Lain waktu, setelah kembali mengikuti International Creative Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, (1971-1972), Gerson melancong ke Timor Portugis. Kala itu, kata Gerson, Timor-Timur sedang bergolak soal berintegrasi ke Indonesia atau tidak. Tak ada wartawan yang bisa masuk sampai Dili. Semua terkena embargo di Kupang.
“Tetapi saya sudah patantang-petenteng selama tiga bulan di sana, dari Dili hingga Leutem,” kata Gerson.
Ia menumpang truk dari Atambua. Sisa dollar dalam kantong ia pakai sewa mobil dan penginapan di Dili. Sopirnya seorang pemuda yang tidak bisa berbahasa Indonesia. (Dalam buku itu Gerson bercerita panjang mulai soal kopi hingga nona-nona keturunan Porto yang cantik. Ia berkisah tentang Ramos Horta yang masih muda dengan pacarnya yang cantik. Gerson bercerita tentang truk yang disewa Signor Martinez, pedagang kopi, yang perjalanannya dikawal dua tentara muda Portugis. Ia berkisah tentang penduduk Timor Potugis yang apatis dan miskin).
Gerson menggambarkan betapa kemiskinan dan kebodohan menjadi karib.
“Mereka itu ibarat asu lear, anjing liar yang turun dari bukit dan kampung-kampung mencari makan, berkerumun di sebuah tempat urban bernama kota tanpa bekal pengetahuan yang memadai. Yang terjadi, mereka menjadi buruh kasar yang diperintah-perintah, dibentak-bentak, atau perempuannya menjadi pelacur atau diperkosa majikannya karena tanpa bekal pengetahuan yang memadai,” tulis Gerson.
Tampaknya problem yang ditulis Om Gerson puluhan tahun silam ini masih relevan dengan situasi kita sekarang.
Perihal sopir mobil sewaan tadi?
Puluhan tahun kemudian,1997, rumah Om Gerson di Depok didatangi tentara. Ia diminta menghadap seseorang di RS Gatot Subroto Jakarta. Ternyata yang memintanya datang adalah Abilio Soares, Gubernur Timor-Timur yang sedang dirawat karena kanker usus.
“Saya dulu sopir Bapak dari Dili ke Leutem. Karena tidak bisa bahasa Indonesia saya diam saja,” kata Abilio seperti ditirukan Gerson. Pantas saja, kata Gerson, mantan Gubernur NTT Ben Mboy mencak-mencak saat Abilio dilantik jadi gubernur.
“Sopir kok jadi gubernur,” kata Mboy.
Sayang, cerita ini tak masuk dalam bukunya.
***
Secara garis besar tulisan Gerson adalah keprihatinannya yang dalam terhadap pengangguran yang merajalela di Indonesia. Padahal menurut Gerson hal ini tak perlu terjadi bila orang mau kembali ke desa mengolah tanah untuk hidup.
“Kebutuhan maksimal kita untuk gizi terpenuhi dengan membuka ladang atau sawah. Kita ini sebenarnya punya bumi subur laut kaya tetapi kita berlomba-lomba menjadi kaum urban ke kota,” kata Gerson. Ia sangat yakin bila kaum terpelajar Indonesia kembali ke desa maka pengangguran yang 40 juta orang ini akan teratasi.
Apa kekuatan tulisan Om Gerson?
Dia menulis dengan gaya, yang saat ini kita kenal sebagai jurnalisme sastrawi. Data dan fakta ia sajikan dalam bentuk fiksi yang memikat.
“Saya ini sastrawan yang wartawan, atau sebaliknya. Sebagai wartawan, fakta dan data tetap sakral, tetapi sebagai sastrawan saya memilih menyampaikannya dengan gaya menulis novel. Dengan begitu pesan saya sampai kepada pembaca,” katanya.
Beberapa pengamat sastra menyejajarkan Gerson dengan Pramudya Ananta Toer dalam hal menulis laporan jurnalistik. Kandungan human interest mereka penuh. “Pram yang meracuni pikiran saya,” aku Gerson.
Bagi sastrawan Remy Sylado, Gerson ia gambarkan sebagai sosok yang tak pernah serius. Bercanda-canda saja kerjanya, kata Remy.
Suatu ketika Gerson datang ke sanggar 23761 punya Remy di Bandung. Gerson bercerita ia baru saja naik truk bermuatan kapuk dari Surabaya ke Flores dengan seorang pemuda Tionghoa penggila karya-karyanya. Begitu turun dari kapal di Labuan Bajo truk itu terguling. Kapuk berhamburan….
Gerson tak meneruskan ceritanya. Murid-murid Remy penasaran. “Bagaimana pemuda itu, dia selamat ndak?” tanya mereka.
Gerson, kata Remy, malah cengengas-cengenges sambil terus menyemburkan asap kreteknya.
“Menurut kalian cerpen saya ini menarik ndak?” Gerson balik bertanya.
Esok hari cerpen tersebut terbit disalah satu harian di Bandung.
***
Februari 2017. Sejak awal bulan saya sedang mengerjakan sebuah proyek penulisan di Wamena dan Tolikara, Papua. Kak Fanny Poyk memberi kabar lewat SMS bahwa Om masuk rumah sakit. Ia diopname di RS Hermina, Depok…
Jumat, 24 Februari saya dapat pesan lagi: “Lex, Bapa sudah meninggal.”
Saya masih punya utang, mengunjungi pusara Om Gerson di Kupang!
(sumber: Facebook Alex Japalatu dan dimuat atas seizinnya)