Menu

Dark Mode
Ketika Istana Negara Tenggelam Lolos Dramatis, Persekota Dapat Suntikan Semangat dari Serena Francis Perserond Akhiri Perjuangan di ETMC XXXIV dengan Kepala Tegak KIPP Indonesia Tetapkan Dewan Presidium Nasional dan Majelis Nasional Periode 2025-2030 AJI Desak Media Massa Tidak Diskriminatif terhadap Minoritas Gender dan Seksual di Lombok PSK Kabupaten Kupang Tundukkan Perserond Rote Ndao 2–0 di ETMC XXXIV Ende

PEMBACA MENULIS

Hercules, Bobi Rahman, Alfredo Reinado dan TBO

badge-check

Banyak orang ketika berbicara tentang Hercules, menghubungkannya dengan TBO (Tenaga Bantuan Operasi). Konon katanya ia adalah mantan TBO. Hal ini dibicarakan dengan nada biasa saja, seperti tidak ada kejanggalan apalagi masalah dengan atribusi ini. Bahkan banyak yang seakan bangga dengan sebutan TBO itu.

Tapi tahukah anda apa makna status TBO itu? Apa artinya menjadi TBO? Tahukah anda bahwa TBO adalah sebuah istilah yang digunakan militer Indonesia yang sebenarnya mempunyai implikasi besar dalam hukum internasional maupun Hak Asasi Manusia? Tahukah anda bahwa banyak anak Timor-Leste yang sebenarnya menjadi korban kekerasan selama pendudukan Indonesia, termasuk menjadi korban TBO ini?

Tenaga Bantuan Operasi adalah istilah yang digunakan militer Indonesia ketika mempekerjakan anak-anak sebagai pembantu dalam operasi-operasi militer mereka. Untuk membuatnya terkesan resmi dan keren mereka menyebutnya TBO tetapi sebenarnya anak-anak itu dipaksa dan terpaksa untuk terlibat sebagai TBO.

Laporan Komisi Penerimaan dan Rekonsiliasi Timor-Leste (yang lebih dikenal dengan akronim Portugisnya CAVR: Commissao Acolhimento Verdade e Reconciliacao) menyebutkan bahwa baik TNI maupun Falintil dan gerakan klandestin telah menggunakan anak-anak selama masa konflik. Anak-anak menjadi korban, pelaku, pembantu dan penonton selama masa konflik panjang yang dimulai tahun 1974. (Lihat Executive Summary Chega! hal. 124-139).

Anak-anak Timor-Leste menjadi korban kekerasan sexual seperti perkosaan, dan perbudakan sexual di kamp-kamp; menjadi “proxy” kekerasan seksual yang ditujukan untuk anggota keluarga mereka yang masih bersembunyi di hutan; mengalami kekerasan sexual ketika ketahuan terlibat dalam gerakan klandestin; mengalami penyiksaan-penyiksaan dalan bentuk kekerasan sexual yang dilakukan atas inisiatif pribadi para anggota militer. (Ibid: 124). Menurut data yang dikumpulkan dan kesaksian para korban, anak-anak paling menderita selama tahun 1976-1981 dan tahun 1999. Hal ini juga mencerminkan tahun-tahun dimana pola kekerasan paling banyak dialami seluruh warga Timor-Leste.

Khusus untuk TBO adalah anak-anak yang dipindahkan dari rumah dan kampung mereka setelah invasi, dimana mereka paling banyak menjadi korban kelaparan dan penyakit. Banyak yang harus meninggalkan rumah tanpa anggota keluarga yang mendukung mereka sehingga rentan terhadap pelecehan, penculikkan dan rekrut paksa. Sebagai TBO mereka harus memikul beban-beban yang berat yang dipaksakan kepada mereka seperti makanan, peralatan dan amunisi tentara. Mereka dipaksa mengangkut tanpa memperhatikan kekuatan atau kesehatan mereka. Berada di barisan depan bersama tentara, kadang mereka menjadi korban dalam pertempuran, meninggal atau cacat. Hercules adalah salah satu contohnya di mana matanya rusak karena ledakan.

Khusus untuk TBO dalam konflik bersenjata dan gerakan klandestin, CAVR menemukan bahwa (Ibid: 127-8):

(1) Militer Indonesia merekrut beberapa ribu anak sebagai TBO.

(2) TBO direkrut selama periode pendudukan namun jumlah TBO meningkat selama tahun 1976-1981 ketika operasi-operasi militer ditingkatkan.

(3) ABRI menggunakan berbagai metode untuk merekrut mulai dari paksaan sampai bujukan. Sejumlah anak didaftarkan sebagai sukarela, namun mengingat keadaan pada waktu itu batas antara rekrutmen sukarela dan paksaan menjadi tidak jelas.

(4) Dikenal juga rekrutmen yang dilakukan oleh tentara secara pribadi tertutama para tentara dg pangkat yang tinggi. Namun tidak ada upaya untuk menghentikan malahan ada upaya untuk dibuat aturanya.

(5) walaupun secara resmi diakui, TBO bukanbl anggota militer dan tidak mendapat hak yang wajar seperti umumnya tentara yaitu gaji, pangkat atau pakaian. Walaupun mereka sering mendapat makanan.

(6) Hubungan antara TBO dan para tentara sangat tidak adil. Sangat sering para tentara memperlakukan para TBO seolah hak milik. Mereka mengontrol secara mutlak ke mana mereka pergi, tugas mereka, kondisi hidup sehari-hari, baik hidup atau mati. Kadang para prajurit ini masih menguasai anak-anak ini setelah tugas mereka berakhir di Timor, kadang mereka mengover anak-anak ini ke prajurit lain, kadang anak-anak ini diterlantarkan begitu saja dan harus mencari hidup sendiri. Bisa jadi jatuh ke tangan prajurit lain.

(7) Anak-anak ini walaupun tidak terlibat secara langsung dalam pertempuran, sebenar terbuka thd bahaya bagi fisik dan mental mereka. Banyak anak yang sebenarnya yang belum siap secara fisik maupun intelektual.

(8) kadang anak-anak ini didaftarkan bersama sana dg orang dewasa dalam operasi militer. Dalam Oerasi Kikis pada bulan Juli-September 1981, di beberapa wilayah, anak-anak seusia 10 tahun didaftarkan bersama belasan ribu orang untuk menyerang basis-basis Falintil.

Dari temuan-temuan ini, Komisi menyatakan bahwa:

(1) bahwa TNI telah melakukan pelanggaran yang mendasar thd adat istiadat yang melawan perbudakan serta pelanggaran yang serius thd Konvensi Geneva IV: Ayat 147 dan pelanggaran thd hukum dan kebisaan perang. (Ibid: 128)

(2) perekrutan thd anak-anak ini adalah bentuk kerja paksa yang merupakan pelanggaran thd artikel 51 Konvensi Geneva IV yang mengharuskan bahwa jika sebuah Kekuatan Pendudukan menggunakan tenaga penduduk sipil di wilayah pendudukan, mereka wajib membayar para penduduk dengan upah yang wajar dan “kerja-kerja itu harus proporsional bagi kapasitas fisik dan intelektual mereka”. (Ibid: 128)

Dari laporan CAVR ini kita paham bahwa anak-anak Timor Leste adalah korban perang. Lebih tepat mereka dimanfaatkan oleh militer dalam perang. Mirip child soldier di Afrika, bedanya mereka tidak diperbolehkan mengangkat senjata. Mereka hanya jadi pengangkut senjata dan perbekalan yang harus siap sedia menemani tentara ke manapun, termasuk ke tengah pertempuran. Dan jika tugas selesai mereka bisa dibawa ke Indonesia. Jadi ketika ada yang gampang menyebut Hercules sebagai mantan TBO sebenarnya sedang membuka aib sendiri karena TBO itu illegal dalam perang dan merupakan sebuah pelanggaran hak anak yang luar biasa. Apalagi TBOnya sampai dibawa ke Indonesia.

Begitulah sedikit uraian tentang temuan Komisi yang bekerja selama beberapa tahun, melakukan wawancara, audiensi publik, survey kuburan dan berbagai pekerjaan hak asasi manusia untuk mendapatkan gambaran pelanggaran HAM sejak tahun 1975 sampai 1998. Laporan dari Komisi yang didukung PBB ini telah diserahkan ke PBB pada 31 Oktober 2005. Entah bagaimana kelanjutan laporan yang diberi nama oleh Xanana Gusmao sebagai “Chega!” ini.

Sejumlah organisasi hak asasi juga telah berupaya mempertemukan kembali anak-anak ini dengan orang tua atau kerabat mereka. Ada yang berhasil, ada yang tidak. Video-videonya dapat anda temui di internet. Salah satu kisah yang unik tentang terpisahnya anak dan orang tua juga dialami oleh Jendral Lere Anan Timor. Sang komandan gerilya itu kehilangan anaknya Elito. Elito dibawa ayahnya dari hutan ke kota Illiomar. Anak itu kemudian ditemukan dan diadopsi oleh seorang perwira polisi dan dibawa ke Indonesia. Ia diberi nama Bobi Rahman. Ketika Timor kembali merdeka Bobi dipertemukan dengan orang tua kandungnya dalam suasana yang mengharukan. Kisahnya dapat dibaca di sini: Elito

Jika Bobi bernasib baik, lainnya halnya dengan salah satu anak TBO yang kemudian dibawa ke Sulawesi namun ia berhasil menemukan jalannya kembali ke Indonesia. Ia adalah Alfredo Reinado. Masih ingat Alfredo Reinado sang rebel di Timor Leste? Dia salah satu korban TBO. Khusus ttg riwayat hidup Reinado anda dapat membaca tulisan saya yang masih disimpan orang di link ini: Reinado

Ceritanya unik dan jika anda membaca riwayat hidupnya anda akan tahu bahwa pembentukan watak dan mentalnya tak lepas dari penderitaan yang ia alami sebagai TBO. Alfredo Reinado dan Hercules adalah korban perlakuan semena-semena dan pelanggaran besar thd hak anak yang terjadi selama pendudukan Timor Leste oleh Indonesia. Keduanya muncul dalam kutup yang berbeda: Hercules ke Indonesia, Reinado kembali ke Timor Leste, namun kedua sebenarnya adalah korban yang berjuang melewati hidup yang tak berasahabat bagi anak-anak seusia mereka

Manulai II, Kupang, 21 Mei 2025

Penulis: Matheos Viktor Messakh

sumber : satutimor.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Ketika Istana Negara Tenggelam

12 December 2025 - 11:15 WITA

Trending Post PEMBACA MENULIS