Kasus Agnes Mo, yang dihujat banyak netizen karena menyebut dirinya tidak berdarah Indonesia, menunjukkan sebagian kegagalan pendidikan nasional kita.
Gampang ngegas, tapi kurang ditopang oleh pemahaman dan wawasan. Lebih banyak mengumbar umpatan ketimbang menyuguhkan argumentasi. Sering terjebak dalam kekeliruan berlogika (logical Fallacy).
Setidaknya, hal-hal di atas kerap ditemukan dalam keramaian media sosial warga netizen +62. Kasus Agnes Mo hanya satu dari bergunung-gunung kasus yang mirip.
Saya kira, jika ada yang patut dipersalahkan dalam hal ini, tentu saja tudingan harus diarahkan pada: pendidikan nasional kita.
Kasus Agnez Mo menunjukkan tiga kegagalan mendasar pendidikan nasional kita.
Pertama, kurang memahami teks dan konteks. Kasus Agnez Mo menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita, yang notabene hasil pendidikan nasional, kurang memahami teks (apa yang dibacanya) dan konteksnya.
Ini masalah besar kita. Dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah memperingatkan itu. Jadi, berdasarkan data PBB, sepertiga atau 35 persen anak Indonesia usia 10 tahun tidak memahami apa yang dia baca (learning poverty).
Jadi, sekalipun tingkat buta huruf (illiterate) usia 10 tahun ke atas (tahun 2017) kita sisa 4,08 persen, tetapi yang tidak faham apa yang bisa dibacanya masih berkisar 35 persen.
Maka, jangan heran, banyak netizen +62 mendebat teks atau pendapat yang tak dipahaminya dengan jernih. Sering terjadi salah tangkap makna dan maksud dari sebuah teks.
Begitu juga sebaliknya. Meski bisa menulis, tetapi kadang salah menuliskan apa yang hendak disampaikan.
Begitu juga dalam kasus Agnez. Dia mau menunjukkan kalau Indonesia tak hanya kaya budaya, tetapi juga manusianya: ada beraneka ragam suku, agama dan ras. Dan dia (Agnes) mengaku merupakan minoritas dalam masyarakat majemuk itu.
Tetapi, sekalipun minoritas, dia mengaku diterima oleh mayoritas. Dan dia menggunakan medium budaya, termasuk meniru gaya rambut masyarakat Papua, untuk menunjukkan inklusi lewat budaya.
Sayang sekali, sebagian netizen kita yang budiman gagal menangkap pesan itu. Selain karena tidak menonton video secara keseluruhan, sehingga bisa menangkap konteks ucapan Agnez itu, juga karena kurangnya kemampuan memahami teks.
Kedua, masyarakat Indonesia itu malas membaca. Minat baca manusia Indonesia sangat rendah. Merujuk ke data UNESCO, indeks minat baca warga Indonesia 0,001. Jadi, dari 1.000 orang, hanya 1 orang yang mempunyai minat baca yang rutin.
Pendidikan harusnya memupuk rasa ingin tahu peserta-didiknya. Selalu merasa haus pada pengetahuan baru. Selalu ingin memperluas cakrawala berpikir dan wawasannya. Dan karena itu, membaca itu penting.
Sayang sekali, minat baca bangsa kita rendah. Karena minat baca rendah, tak banyak yang tahu temuan ilmiah, baik arkeologi maupun tes DNA, terkait asal-usul manusia Indonesia.
Merujuk ke temuan ilmiah itu, semua etnis (Lebih 500-an etnis) dan ras yang mendiami Nusantara ini berasal dari leluhur yang sama di Afrika, Homo Sapiens, yang mengembara keluar (out Africa) sejak 150 ribu tahun lalu.
Di perjalanan, karena perbedaan rute, yang berkaitan dengan perbedaan iklim, cuaca, lingkungan, dan lain-lain, membuat bentuk fisik kita berbeda-beda. Ini juga membuat leluhur kita tidak datang bersamaan, tetapi bergelombang.
Namun, kendati melalui beragam rute dan bergelombang, kadang mereka bertemu, bercampur-baur, terjadi perkawinan, sehingga menghasilkan percampuran genetis.
Tes DNA yang dilakukan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman membuktikan itu. Silahkan baca di sini dan di sini. Dari tes DNA itu, tak ada yang disebut “murni Indonesia”.
Ariel Noah, yang dianggap berwajah Indonesia, setelah tes DNA, ternyata hasilnya: South Asian sebesar 79,78 persen (India, Bangladesh, Tamil, Nepal), East Asian sebesar 15,14 persen (Jepang), Asian Dispersed 5,02 persen (Asia-Amerika), dan Middle Eastern 0,05 persen (Cypriot-Yunani). Jadi, Ariel itu memiliki DNA dari India, Jepang, dan Yunani.
Hasto Kristiyanto, yang lahir di Yogyakarta dan sekarang menjabat Sekretaris Jenderal sebuah partai berhaluan nasionalis, ternyata sebagian besar DNA-nya berasal dari Asia Timur (88,78 persen), diaspora Asia (9.95 persen), Asia selatan (1,13 persen) dan Samaritan (0,4 persen).
Jadi, kalau Agnes bilang dia ada campuran Jerman, Jepang, dan Cina, jangan heran. Kalau dilakukan tes DNA, kita semua juga punya campuran yang beragam.
Ketiga, wawasan kebangsaan dan sejarah yang bermasalah. Dalam kasus Agnes, menganggap Indonesia identik dengan ikatan darah yang sama alias pribumi, jelas tidak paham sejarah dan berwawasan kebangsaan yang salah.
Silahkan buka tulisan-tulisan Sukarno, Hatta, dan pendiri bangsa lainnya. Pernahkah mereka bicara Indonesia dibangun di atas ikatan darah?
Tidak, saudara-saudari. Kebangsaan Indonesia tidak dibangun di atas ikatan darah, melainkan di atas ikatan nasib yang sama: sama-sama terperintah dan diinjak-injak oleh kolonialisme.
Kesamaan nasib itulah yang membentuk “kehendak untuk bersatu”, imajinasi untuk hidup bersama, yang dibarengi dengan cita-cita bersama: mewujukan sebuah komunitas bersama (bangsa) yang merdeka, adil dan makmur.
Jadi, menjadi Indonesia bukan karena leluhurmu lahir, kawin-mawin, dan mangkat di atas tanah-air Indonesia, lalu dirimu mewarisinya dengan label “pribumi”, melainkan pada penerimaanmu pada kesepakatan bersama yang melahirkan bangsa ini: kesamaan nasib, kehendak untuk bersatu, dan cita-cita bersama (masyarakat adil dan makmur).
Nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme etnik (ethnic nationalism), yang menjunjung tinggi prinsip Jus Sanguinis (hukum pertalian darah). Juga bukan nasionalisme berbasis agama (religio-nationalism).
Nasionalisme Indonesia lebih bercorak nasionalisme kewargaaan (civic nationalism) yang progressif. Nasionalisme kewargaan di bangun di atas kesediaan menerima perbedaan, kesetaraan, dan cita-cita bersama. Nasionalisme kita progressif bukan hanya karena menjunjung tinggi kesetaraan, tanpa memandang suku, agama, ras, gender, dan lain-lain, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial dan kemakmuran bersama.
Jadi, siapa pun yang menerima prinsip Bhineka Tunggal Ika, menjunjung tinggi kesetaraan sebagai saudara-sebangsa, menerima nilai bersamanya (Pancasila), dan bertumpah-darah untuk masyarakat adil dan makmur, maka dia berhak untuk menjadi Indonesia.
Maria Ozawa alias Miyabi, yang mendukung Timnas Indonesia di Sea Games Manila, jika menerima prinsip Bhineka Tunggal Ika, prinsip kesetaraan, nilai-nilai Pancasila, dan cita-cita masyarakat adil-makmur, dia berhak menjadi Indonesia.
Nah, prinsip ini berlaku sebaliknya. Sekalipun anda mendaku pribumi, mengaku bertanah-air Indonesia (lahir, besar, makan, berak, dan mati di Indonesia), tetapi jika anda intoleran terhadap keragaman suku, budaya, dan agama di Indonesia, menentang nilai-nilai Pancasila, memunggungi cita-cita masyarakat adil dan makmur, dirimu tak pantas disebut Indonesia.
Sekarang kita tengok sejarah. Jangan heran, dalam sejarah perjuangan bangsa kita, Indonesia merdeka bukan hanya diperjuangkan oleh etnis atau ras yang mengklaim diri sebagai “pribumi”, tetapi juga ada orang Tionghoa, Arab, India, bahkan Belanda.
Tidak mengherankan lagi, dalam daftar Pahlawan Kemerdekaan, ada orang keturunan Belanda bernama Ernest Douwes Dekker. Dia bahkan pernah menjadi Menteri di Kabinet Sjahrir III.
Tapi, jangan lupa, saudara-saudari, ketika kolonialisme berdiri kokoh menginjak-injak nusantara, tak sedikit manusia dari suku/bangsa yang disebut sebagai “pribumi” yang menjadi penopang kekuasaannya.
Jadi, berhentilah bicara Indonesia sambil mengaitkannya dengan ikatan darah. Berhentilah bicara pribumi dan non-pribumi.
Bukan hanya karena kita berasal dari luluhur yang sama, yang bermigrasi dan menjadi penghuni kepulauan nusantara ini, tetapi juga karena pijakan kebangsaan kita adalah nasionalisme kewargaan yang progressif.
INGGARD MAHAKARYA
Sumber : berdikarionline, 30 November 2019