Resensi Buku Perdamaian dan Keadilan dalam Konteks yang majemuk di Indonesia Setiawan, Yusak, dkk (ed). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012; i-xii + 493 hlm.

Oleh: Asaria Lauwing Bara
Indonesia adalah bangsa mejemuk dengan keberagaman dan kemajemukan suku, agama, ras, bahasa dan budaya. Dalam perjalanan kehidupan berbangsa hari ini, saya kira topik perdamaian dan keadilan adalah sesuatu hal yang patut dipelajari lebih dalam lagi. Buku Perdamaian dan Keadilan dalam konteks yang majemuk di Indonesia merupakan kumpulan 18 tulisan refleksi kebudayaan dan teologis, merepresentasikan pergulatan penulis terhadap berbagai realitas kontekstual yang hendak disoroti dari perspektif ideal untuk memelihara dan merawat keadaan keadilan dan perdamaian.
Pada bagian pertama buku ini, Yusak Setiawan menjelaskan bahwa agama bisa dan sering kali dilibatkan dalam konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama, sebagai alat untuk pembenaran konflik dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama. Akar terjadinya konflik bernuansa keagamaan di Indonesia disebabkan karena kurangnya kedewasaan religious para pemeluk agama dalam hal menghayati keberagaman dalam konteks keberagaman di Indonesia (hlm. 18). Agama harus menggunakan cara-cara yang memanusiakan kemanusiaan dengan cara yang anti-kekerasan. Denni H. R. Pinontoan, menulis bahwa Gereja di Minahasa perlu mengembangkan teologi perdamaian dengan menjadikan semangat mapulus sebagai basis kehadiran gereja di tengah masyarakat. Aprino Berhitu, menulis tentang perdamaian dalam mengelola sumber daya alam. Tony Tampake, menulis tentang gerakan sosial keagamaan berorientasi perdamaian di Poso. Tulisan ini menunjukan dua nilai budaya yang menjadi komponen utama tindakan sosial, yaitu nilai saling menghargai (mombetubunuka) dan nilai saling menghidupkan (mosintuwu). Nancy Souisa menulis tentang pelajaran dari hidup dan etos kerja perempuan papalele di Ambon. Beatrix J.M. Salenusa tentang perdamaian dalam bingkai pendidikan Multikultural berbasis karakter hidop orang basodara di Kota Ambon. Menurutnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Dengan menghargai perbedaan maka sumber konflik dan perpecahan dapat dihindari.
Bagian Kedua dari Buku ini, Retno Ratih Suryaning Handayani menulis tentang Anak-anak agen perdamaian: Upaya Sobat Anak Solo (SAS) bagi pengembangan perdamaian. Aprissa Taranau tentang menggugat praktik kawin tangkap dalam budaya perkawinan di Waikabubak, Sumba Barat, NTT. Budaya Kawin Paksa membuat perempuan yang mengalami kekerasan berlapis. Astrid Bonik, Lusi tentang refleksi Sosio-Teologis terhadap Narasi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Kupang dan Rekonsiliasi Teks 1 Petrus 2:18-25. Pekerja rumah tangga (PRT) di Kupang dan oiuke, tai (Yunani:PRT) dalam 1 Petrus 2:18-25 mengalami suatu kondisi yang sama yaitu menderita karena tindakan diskriminasi. 1 Petrus 2:18-25 dapat dilihat sebagai suatu teks yang mendukung perbudakan dan diskriminasi. Astrid melakukan rekonstruksi terhadap teks 1 Petrus sehingga ketidakadilan dan penindasan dapat dihentikan. Rachel Iwamony, tentang ketertindasan ganda isteri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Menurutnya, Gereja memiliki peran untuk membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan budaya dengan menggunakan konsep budaya yang menghormati martabat perempuan, serta konsep kristiani tentang relasi manusia laki-laki dan perempuan yang memiliki martabat sama. Irene Umbu Lolo, menyuarakan keadilan bagi perempuan penenun berteologi dari konteks Sumba. Suryaningsi Mila menulis tentang sistem Ijon. Sistem ijon adalah pinjaman berbunga tinggi yang diberikan oleh para pemilik modal kepada para petani miskin. Menurutnya, perlawanan terhadap sistem ijon harus dimulai dari gerakan para petani miskin yang muncul kesadaran bahwa mereka sedang diperdayai dan ditindas. Ronald Helweldery menulis tentang keadilan bagi anak. Menurut Ronald, berkaitan dengan kehadirannya di tengah kehidupan jemaat, gereja masih menghidupi budaya hierarkis. Ronald menyampaikan bahwa gereja butuh stimulant kritis untuk mengembangkan model berteologi dari bawah bersama jemaat dalam konteks pergulatan kehidupan mereka. Darwita Purba menulis tentang diskriminasi yang dialami oleh warga gereja yang memiliki seksualitas queer.
Tulisan bagian yang ketiga, Safnat Hontong menulis tentang konflik GMIH dari perspektif keadilan. Ricardo Nanuru, menulis tentang gereja di jalan keadilan: fungsi sosial gereja menghadapi masalah kemiskinan dan ketimpangan komunikasi di Bibir Pasifik. Henky H. Hetharia tentang sasi gereja. Sasi gereja ini merupakan bentuk dan proses transformatif dari sasi negeri (adat) yang menjadi salah satu kearifan lokal orang Maluku, yang dapat menjadi solusi bagi upaya mewujudkan keadilan ekologi di tengah ketidakadilan ekologi. Steve Gaspersz menulis tentang misiologi kontekstual jemaat urban. Penguatan tindakan perdamaian, terutama pada masyarakat pascakonflik di Ambon, tidak dapat dilepaskan dari perspektif mengenai keadilan dalam tatanan kehidupan bersama suatu masyarakat multikultural. Berbagai upaya untuk memperkuat misi perdamaian dan keadilan sebagai dua sisi dari satu koin.
Semoga dari 3 bagian besar pokok tulisan yang telah dibaca, dapat memberi insight siapapun yang tertarik dengan isu keadilan dan perdamaian di Indonesia.








