Tabe budik hita hotu-hotu, Ao mina ao leko neu ala ki, Helama Tona ie, Boa Blingin, Soda Molek, Salam dengan wangi nusa bunga, untuk sapaan indah tanah Samawa, Salam dari puncak-puncak bunga kenari, Shalom. Salam GMIT, satu untuk semua, semua untuk satu, satu untuk kemuliaan Tuhan Yesus. Persidangan yang mulia, Ziarah sebuah gereja selalu mengandung jejak sejarah, perjumpaan dengan tantangan zaman, dan keputusan-keputusan iman yang menentukan identitasnya.

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) tidak pernah berjalan di ruang kosong. Ia bergerak di dalam arus sejarah Indonesia dan dunia yang terus berubah. Gereja ini lahir dari Injil yang ditabur oleh pekabaran zending dan tumbuh dalam tanah budaya Timor dengan segala dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Seperti Israel yang berjalan di padang gurun menuju tanah perjanjian, GMIT pun berjalan dalam ziarah panjang dengan berbagai pasang surutnya. Di dalam perjalanan itu, ada momentum-momentum khusus ketika gereja harus berhenti sejenak, berdiam diri, lalu menimbang kembali arah dan fondasi pelayanannya.
Momentum itu sering kali mengambil bentuk persidangan sinode istimewa. Sejarah GMIT mencatat bahwa persidangan semacam ini tidaklah sering, namun setiap kali terjadi, ia menyimpan makna teologis dan pastoral yang sangat mendalam. Persidangan Sinode Istimewa pertama pada tahun 1975 di Jemaat Kefas Kampung Baru adalah sebuah tonggak yang menegaskan pentingnya kepemimpinan dalam kehidupan bergereja. Gereja saat itu masih muda, baru beberapa dekade berdiri, dan menghadapi tantangan besar pasca integrasi dengan negara Indonesia yang sedang mencari arah pembangunan. Di sana GMIT meneguhkan bahwa kepemimpinan rohani adalah dasar untuk menggerakkan jemaat menuju kedewasaan.
Tiga puluh lima tahun kemudian, di tahun 2010, GMIT kembali dipanggil dalam Persidangan Sinode Istimewa kedua di Jemaat Koinonia Kupang. Fokusnya adalah penguatan organisasi. Hasil yang monumental dari sidang ini adalah lahirnya Tata Gereja GMIT yang menata kehidupan bergereja lebih teratur, terstruktur, dan responsif terhadap kebutuhan pelayanan. Tata Gereja bukan sekadar dokumen administratif, melainkan cermin dari kesadaran bahwa tubuh Kristus ini harus diorganisir agar bisa melayani dunia dengan baik.
Kini, di tahun 2025, memasuki bulan penggenapan 50 tahun, GMIT dipanggil sekali lagi dalam Persidangan Sinode Istimewa ketiga. Ziarah kali ini membawa gereja untuk masuk ke inti terdalam, yakni pokok-pokok pengajaran gereja. Jika kepemimpinan memberi arah, jika organisasi memberi wadah, maka pengajaran memberi jiwa. Pengajaran adalah denyut nadi yang menyalurkan makna iman kepada jemaat. Tanpa pengajaran, kepemimpinan bisa menjadi kosong, organisasi bisa kehilangan roh, dan gereja bisa hanyut dalam arus dunia tanpa identitas. Dalam perjalanan panjangnya, GMIT makin besar, makin bertumbuh. Namun pertumbuhan kuantitatif sering kali membawa konsekuensi: semakin banyak yang perlu dibenahi. Gereja yang besar tanpa pengajaran yang kuat mudah terjebak dalam pragmatisme, dalam kesibukan mengelola acara dan program tanpa kedalaman spiritual. Di titik inilah pokok-pokok pengajaran gereja menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Ia hadir sebagai panggilan untuk meneguhkan identitas GMIT di tengah pergumulan publik. Pokok-pokok pengajaran ini tidak lahir dalam ruang vakum, melainkan dalam ziarah panjang yang penuh pergumulan. GMIT berdiri di tanah yang penuh dengan pluralitas agama, budaya, dan pandangan hidup. Gereja harus mampu menjelaskan imannya, bukan hanya kepada jemaatnya sendiri, tetapi juga kepada masyarakat luas. Ajaran gereja adalah wujud dari identitasnya; ia adalah tanda bahwa gereja ini tahu siapa dirinya, dari mana ia datang, dan ke mana ia hendak melangkah. Di sinilah gema Kisah Para Rasul 16:9 terasa sangat relevan: “Datanglah ke Makedonia dan tolonglah kami.” Seruan tersebut bukan hanya suara orang asing kepada Paulus, tetapi juga gema hati jemaat-jemaat GMIT di seluruh pelosok. Mereka berseru kepada Sinode: “Datanglah, tolonglah kami dengan pengajaran yang menuntun kami di tengah dunia yang penuh disrupsi.” Jemaat membutuhkan arah, bukan sekadar kegiatan. Jemaat merindukan pengajaran yang kokoh, yang bisa menjadi fondasi menghadapi derasnya arus zaman. Konteks kita sekarang ditandai oleh dua realitas besar. Pertama, disrupsi pola pikir beriman. Banyak jemaat muda bertumbuh dalam dunia digital yang menawarkan ragam pengajaran alternatif, sering kali bercampur antara yang sehat dan yang menyesatkan. Gereja tidak boleh membiarkan mereka berjalan sendiri; gereja harus hadir dengan pengajaran yang jelas, tegas, tetapi juga relevan. Kedua, disrupsi teknologi. Teknologi digital membawa manfaat besar, tetapi juga ancaman: manusia bisa kehilangan nilai dan etika, tergoda oleh instan, dan tercerabut dari akar rohaninya. Di samping itu, kehidupan bangsa pun menghadapi tantangan ketika kebenaran dipola untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Di tengah situasi ini, gereja dipanggil untuk menyuarakan kebenaran yang membebaskan semua orang.
ub tema persidangan kali ini, “Kebenaran yang Memerdekakan: Fondasi Pengajaran Gereja yang Adil, Setia dan Rendah Hati” (Yohanes 8:32 dan Mikha 6:8), mengandung daya spiritual yang sangat kuat. Yohanes 8:32 menegaskan bahwa kebenaran sejati adalah jalan menuju kemerdekaan. Kemerdekaan di sini bukan hanya terbebas dari penjajahan atau penderitaan, tetapi kemerdekaan batin untuk hidup dalam kasih dan kebenaran Allah. Mikha 6:8 menambahkan dimensi etis: berjalan bersama Allah berarti hidup adil, setia, dan rendah hati. Inilah integrasi antara teologi Yohanes dan nabi Mikha: kebenaran bukan teks yang beku, tetapi roh yang menggerakkan transformasi; keadilan bukan slogan, tetapi praksis dalam kehidupan bersama; kesetiaan bukan retorika, tetapi komitmen dalam relasi; kerendahan hati bukan kelemahan, tetapi kekuatan untuk melayani. Karl Barth pernah menegaskan bahwa Firman Allah itu kekal, selalu mendahului gereja dan memanggilnya untuk setia. Bagi Barth, gereja tidak bisa hidup dari dirinya sendiri; ia hanya bisa hidup dari Firman yang menjadi daging dalam Kristus. Dalam terang itu, pokok-pokok pengajaran gereja adalah upaya GMIT untuk mendengar kembali Firman yang kekal dan menyatakannya dalam bahasa yang bisa dipahami jemaat hari ini. Barth mengingatkan: gereja yang tidak mengajar Firman adalah gereja yang kehilangan rohnya. Karena itu, tugas utama pengajaran bukan sekadar menjelaskan dogma, tetapi menghadirkan Kristus yang hidup di tengah jemaat
Miroslav Volf, seorang teolog kontemporer, menekankan pentingnya gereja menjaga identitasnya dalam keterbukaan. Gereja harus tahu siapa dirinya agar tidak larut dalam arus globalisasi, tetapi juga harus terbuka agar tidak jatuh ke dalam eksklusivisme yang kaku. Identitas gereja bukan tembok yang mengurung, melainkan jendela yang meneguhkan siapa kita sekaligus mengundang orang lain masuk. Dalam terang Volf, pokok-pokok pengajaran GMIT adalah cara kita menjaga identitas sekaligus membuka diri. Dengan pengajaran ini, GMIT bisa menjawab tantangan global sekaligus tetap setia kepada Kristus. Sub tema “kebenaran yang memerdekakan” mengajarkan bahwa kebenaran bukanlah milik segelintir elit. Kebenaran harus dirasakan jemaat di kampung-kampung, di pulau-pulau kecil, di pasar, di sekolah, di ladang, bahkan di ruang digital. Jika kebenaran hanya menjadi doktrin di ruang kelas teologi, maka ia kehilangan daya membebaskannya. Tetapi jika kebenaran diajarkan dalam liturgi, dalam nyanyian, dalam perjumpaan pastoral, maka ia bisa meresap ke kalbu jemaat. Kebenaran yang hidup seperti inilah yang menjadi daya dorong transformasi, sehingga jemaat mampu menghadapi godaan korupsi, kekerasan, dan diskriminasi. Pengajaran ini juga mengingatkan gereja akan perannya di tengah bangsa. Dalam konteks Indonesia yang sedang menatap “Indonesia Emas 2045”, gereja harus memberi kontribusi dengan menegakkan etika kebenaran. Di tengah politik yang sering kali terjebak dalam kepentingan kelompok, gereja harus berani menyuarakan kebenaran yang adil bagi semua.
Di tengah ekonomi yang sering kali melupakan kaum kecil, gereja harus mengajarkan kesetiaan kepada mereka yang lemah. Dan di tengah budaya yang sering kali meninggikan ego, gereja harus mengajarkan kerendahan hati. Dengan demikian, pengajaran gereja bukan sekadar urusan internal, melainkan juga kontribusi bagi kehidupan bangsa. Kita percaya, pokok-pokok pengajaran gereja yang akan dirumuskan dalam Persidangan Sinode Istimewa ini bukan hasil akal budi manusia semata, melainkan karya Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menuntun gereja sepanjang sejarahnya. Seperti tiang awan dan tiang api menuntun Israel di padang gurun, demikian Roh Kudus menuntun GMIT dalam ziarahnya. Dengan demikian, hasil persidangan ini harus dilihat bukan hanya sebagai produk organisasi, tetapi sebagai buah doa, perenungan, dan ketaatan kepada pimpinan Roh Kudus.
Refleksi ini mengajak kita semua untuk menyadari: kita sedang berada di titik penting ziarah GMIT. Dari 1975 hingga 2010 hingga kini 2025, Tuhan terus memanggil kita untuk membenahi gereja-Nya. Jika dahulu kepemimpinan diperkuat, jika dahulu organisasi ditata, maka kini ajaran diteguhkan. Ketiganya adalah tiga pilar yang saling menopang. Kepemimpinan memberi arah, organisasi memberi wadah, dan pengajaran memberi jiwa. Tanpa salah satu, gereja akan pincang. Dengan ketiganya, gereja bisa berjalan teguh dalam ziarahnya. Refleksi ini juga tidak bisa dilepaskan dari wajah konkret jemaat-jemaat GMIT.
Ziarah iman bukan hanya milik sinode, melainkan milik tiap keluarga, tiap anak muda, tiap perempuan, tiap bapak, dan tiap anak yang menjadi bagian dari tubuh Kristus. Pokok-pokok pengajaran gereja harus bisa menjawab kerinduan mereka. Kaum muda GMIT, misalnya, hidup dalam realitas digital yang serba cepat. Mereka sering kali mencari jawaban iman di media sosial, YouTube, atau platform online. Di sana, mereka menemukan banyak suara: ada yang membangun tetapi tidak sedikit yang menyesatkan. Pengajaran gereja harus hadir sebagai suara yang membimbing mereka, suara yang mengajarkan bahwa iman bukan sekadar pengalaman emosional sesaat, melainkan perjumpaan yang mendalam dengan Kristus yang hidup. Gereja perlu menyediakan ruang bagi anak muda untuk bertanya, meragukan, dan belajar, sambil menuntun mereka untuk menemukan makna kebenaran yang memerdekakan. Perempuan GMIT pun membawa cerita iman yang penting. Banyak dari mereka adalah tiang penopang keluarga, yang bekerja keras di ladang, di pasar, atau di rumah. Mereka menghadapi realitas kemiskinan, kekerasan, dan diskriminasi. Pokok-pokok pengajaran gereja harus peka terhadap suara mereka, memberi penguatan bahwa Allah berdiri di pihak yang tertindas, dan meneguhkan bahwa keadilan serta kesetiaan Allah nyata dalam kehidupan mereka. Pengajaran yang adil dan rendah hati berarti membela martabat perempuan sebagai citra Allah yang utuh. Keluarga-keluarga di GMIT adalah sekolah dasar dari iman. Di rumah-rumah sederhana di desa-desa, di rumah petak di kota, di kontrakan mahasiswa, iman diajarkan secara praktis: lewat doa malam, lewat lagu pujian, lewat cerita Alkitab. Namun keluarga-keluarga ini juga menghadapi tantangan berat: disrupsi teknologi yang membuat komunikasi renggang, kasus kekerasan dalam rumah tangga, atau beban ekonomi yang menekan. Pokok-pokok pengajaran gereja harus memberi fondasi kuat, agar keluarga-keluarga Kristen mampu menjadi benteng kasih dan sekolah karakter. Dalam konteks ekonomi Nusa Tenggara Timur, jemaat GMIT bergumul dengan kemiskinan struktural, terbatasnya lapangan kerja, dan ketimpangan pembangunan.
Gereja tidak boleh menutup mata terhadap realitas ini. Pengajaran gereja harus menyapa kehidupan ekonomi umat, mengajarkan etika kerja, kejujuran, dan solidaritas, sekaligus mendorong pengembangan usaha kreatif, pertanian, peternakan, perikanan, dan UMKM. Dengan demikian, kebenaran yang memerdekakan tidak hanya dirasakan di mimbar gereja, tetapi juga di sawah, di pasar, di koperasi, dan di toko pangan jemaat. Inilah wujud nyata dari pengajaran yang transformasional.
Dengan semua wajah konkret ini, jelaslah bahwa pokok-pokok pengajaran gereja bukanlah teks yang beku. Ia harus hidup, meresap ke dalam kehidupan jemaat, dan menjawab kebutuhan nyata mereka. Ketika kaum muda merasa didengar, ketika perempuan merasa dihargai, ketika keluarga merasa dikuatkan, ketika masyarakat kecil merasakan keadilan, maka saat itulah pengajaran gereja sungguh menjadi kebenaran yang memerdekakan.
Refleksi ini hendak ditutup dengan sebuah keyakinan: bahwa Allah yang memanggil GMIT untuk berziarah sejak awal tetaplah Allah yang setia. Firman-Nya kekal, kasih-Nya tidak berubah, dan Roh Kudus-Nya terus bekerja. Persidangan Sinode Istimewa ke-3 ini bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan panjang GMIT. Seperti Israel yang berjalan menuju tanah perjanjian, GMIT pun berjalan menuju kepenuhan kerajaan Allah. Pokok-pokok pengajaran gereja adalah tongkat penuntun dalam ziarah ini, agar gereja tidak tersesat, agar jemaat tidak kehilangan arah, agar identitas tidak larut dalam dunia, dan agar kesaksian tetap murni. Biarlah melalui persidangan ini, GMIT diteguhkan untuk terus menjadi gereja yang hidup dari Firman, yang mengajar dengan kasih, yang memimpin dengan kerendahan hati, dan yang hadir di tengah masyarakat sebagai saksi Kristus yang setia. Dengan demikian, kita boleh berkata: “Tuhan menuntun kita, dan kebenaran-Nya benar-benar memerdekakan kita.”
Akhirnya, refleksi ini hendak menegaskan: GMIT adalah gereja yang hidup dari Firman. Pokok-pokok pengajaran gereja bukanlah beban, melainkan anugerah. Ia adalah cara kita meneguhkan identitas di tengah dunia, cara kita menjawab seruan dari jemaat-jemaat kita, cara kita menyatakan bahwa kebenaran Allah membebaskan, mengubahkan, dan memimpin kita untuk hidup adil, setia, dan rendah hati. Biarlah persidangan ini menghasilkan pengajaran yang tidak hanya tercatat di kertas, tetapi juga tertulis di hati jemaat, agar GMIT terus menjadi saksi Kristus di Nusa Tenggara Timur, Pula Sumbawa, Surabaya, Batam Kepulauan Riau dan Malaysia dan di mana pun ia berada. “Kebenaran harus dijaga bukan karena kita takut kehilangannya, tetapi karena hanya dengan kebenaran gereja dapat hidup”. ***









