Saat wawancara 7 tahun lalu, Mbah Is berkali terdiam. Beberapa menit bibirnya bergetar. Aku menggeser duduk, menyentuh tangannya. Lalu menderaslah lautan kisah ini. Pulang, terduduk lama di trotoar jalan. Senep di ulu hati. Meracik kisahnya, senep berkali-kali….
oleh : Lilik Hastuti Setyowatiningsih

Sri Suprapti (Mbah Is) lahir di Boyolali tahun 1928. Ia anak seorang lurah. Lulus Sekolah Guru Bantu (SGB) lalu mengajar di Sekolah Rakyat. Usia 17 tahun Sri menikah dengan Isnanto, pengurus Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri), yang berafiliasi dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Tahun 1953 Isnanto ditugaskan untuk mengurus organisasi di Medan. Sri ikut serta.
Sri tak pernah ikut organisasi. Sehari-hari mengurus rumah, mengurus ketiga anak angkat. Juga menyeduhkan kopi untuk tamu kolega suami yang kerap rapat di rumah. Peristiwa pada Oktober 1965 membalik total dunianya. Sepulang belanja di pasar, ia saksikan jalanan kacau balau. Kantor Sarbupri hancur dibakar massa. Termasuk rumahnya. Sri menyeret dua anak angkatnya (tujuh dan sembilan tahun) lari ke hutan. Berbekal nasi aking, garam dan kecap, bertahan hingga tiga bulan. Jejak suami dan anak sulung lenyap dari pandang.
Ketika pangan mulai sulit, Sri keluar dari hutan. Naas, ia diciduk tentara dan dijebloskan ke kamp tahanan di Jalan Gandhi, Medan. Masuk ruang pemeriksaan, kagetnya Sri, ia dapati Isnanto sudah remuk dihajar. Pun si anak sulung, usia 19 tahun, yang baru tiga hari gabung dengan Pemuda Rakyat.
Ketiganya diinterogasi. Jika keterangan tak cocok, mereka dihajar habis-habisan. Sri diberondong pertanyaan seputar tamu-tamu suaminya. Ia menggeleng. Balok kayu pun menghantam punggungnya. Berkali-kali. Isnanto, yang sedikitpun tak pernah mengaduh kala disiksa, meratap-ratap ketika menyaksikan pergelangan tangan dan kaki Sri disetrum.
“Saya saja yang digebuki, dia tak tahu apa-apa!” teriak Isnanto. Sia-sia. Balok kayu dan setrum listrik tetap menghujani tubuh istri dan anaknya. Saat Isnanto dihajar dengan beringas, Sri memalingkan muka. Tak tahan. Hingga kini, ia trauma jika ada yang mencolek dari belakang. Ingatan akan balok kayu yang hinggap berkali-kali di punggung itu menghantui. Ia juga trauma pada colokan listrik.
Berbulan-bulan dalam kamp tahanan, penuh siksa fisik mental dan kurang pangan, mereka bahu-membahu menguatkan. Sri, beserta para tapol perempuan jadi tukang cuci baju petugas. Saban hari Sri keliling ruangan petugas mengambil baju kotor. Sepasang baju ia diupah satu rupiah atau sebungkus nasi.
“Kalau berkeliling, mata saya awas melihat-lihat drum tempat sampah. Saya korek-korek, ada bungkusan-bungkusan nasi sisa, saya ambil,” ujarnya.
Sisa-sisa nasi itu lalu dibersihkan. Remahan sayur dan lauknya dibuang. Nasi dimasak kembali. Dikepal per lima sendok lalu dibungkus daun. Diberikan untuk kawan-kawan tapol yang kelaparan. Semua harus dilakukan diam-diam.
Gebukan, setruman, segala kepahitan di dalam penjara, sanggup ia kubur dalam-dalam, tapi tidak dengan peristiwa saat ia digelandang ke ruang atas dan tidak keluar hingga beberapa jam lamanya.
“Kalau ngomong tentang itu saya ndredeg. Gemetar. Saya nggak mau ingat-ingat,” Sri meremas jemarinya perlahan.
Nyaris 50 tahun silam, ia berdiri tertunduk di hadapan suaminya, yang ia temui dari balik jeruji. Tak terucap sepatah kata pun. Airmatanya luruh. Isnanto hanya mengelus bahunya perlahan, “Aku tahu…aku tahuu….” Isnanto dengan bibir bergetar.
“Aku tidak marah karena itu bukan keinginan Dik Sri. Aku tahu kamu dipaksa. Itu karena kamu membelaku.” Mereka berdua lantas bertangisan.
Sri bebas pada Agustus 1975. Anaknya lebih dulu keluar dan ditampung saudara di Medan. Isnanto divonis penjara seumur hidup. Sri pergi ke Jakarta, jadi buruh pengupas bawang di Pasar Rebo. Jadi tukang servis kipas angin. Ia tabung serupiah demi serupiah untuk ongkos menengok Isnanto ke Medan. Sayang, tak kesampaian. Awal 1990, baru ia bisa pergi ke Medan setelah organisasi Palang Merah Internasional membantunya biaya tiket.
Kini Sri aktif memberikan pelayanan di gereja. Ia, yang semula tak pernah berorganisasi, tak pernah diajak diskusi politik, kini jadi perempuan pemberani. Ia berkeliling untuk memberi pelayanan. Kini ia juga bisa berdiri tegak mendedah kisahnya.
Isnanto bebas tahun 2003, meninggal tak lama kemudian. Sri menghabiskan hari-hari tua di Panti Waluya Sejati, Kramat, Jakarta Pusat. Ketika satu per satu kawan di panti jatuh sakit, dengan telaten ia merawat. Menyuapi makan, membersihkan kotoran, membuang muntahnya. Ia lakukan dengan ikhlas dan bahagia. Seperti dulu, menjumputi sisa-sisa nasi dari tempat sampah, dibersihkan, dimasak lagi lalu dibagikan sekepal-sekepal untuk mengganjal perut para tapol yang kurang pangan. (Dari buku esai foto Pemenang Kehidupan, Adrian Mulya, 2016)
Sri Suprapti, kerap dipanggil Mbah Is, meninggal dalam usia 94 pada Jumat 25 Maret 2022 di Panti Werda Berdikari, Tigaraksa Tangerang. Hari ini dimakamkan tak jauh dari panti.
Foto Adrian Mulya
( sumber : Facebook Dominggus Elcid Li )